Mengenai Saya

Foto saya
'We want freedom!' My name is EDOWAY YUNUS, I am a West Papuan independence leader and chairman of the KK-AMP-JOGYA. My village was bombed Killed So Many Thousand Of My People Of West Papuans Indigenous Small Groups by Indonesia Military Occupations when I was a child and many of my family were killed. Later, I began to campaign peacefully to free my people. For this 'crime' I was arrested, tortured and threatened with death. My seniors Of AMP Organizations Was Managed That Organizations and Iwas Follows This Organization in 2003 In Java I managed to escape to JAVA & BALI AN INDONESIAN , where I now live in exile. Many of my people are still suffering. They have been killed, raped and tortured. Life is hard for them. All we are asking for is the freedoms that you enjoy every day - the freedom to speak your mind, to live without fear and to choose your own government. Please hear my peoples' cry for help. Please support the Free West Papua Campaign. TO DAYS IT'S FOR GIVING FREE.

Pengikut

Jumat, 20 Februari 2009

KERJA INTELIJEN NKRI DI PAPUA

INTELIJEN INDONESIA
intel oh intel......
Disclaimer Notice: All statements of fact, opinion, or analysis expressed in this blog are my own. This is not necessarily reflect any official or views of Indonesian Intelligence Agency or any other Indonesian Government entity, past or present. Nothing in the contents should be construed as asserting or implying Indonesian Government endorsement of an article's factual statements and interpretations.

Friday, April 14, 2006
Grand Design Amerika Serikat Terhadap Papua
Pengantar

Sebuah artikel yang cukup menarik ditulis oleh seorang pengagum Adolf Hitler. Penulis mengaku sangat tertarik dengan dunia intelijen dan pernah atau masih sedang mencoba menembus lembaga intelijen di Indonesia. Seorang muda yang kreatif dan berhasil mendapatkan coretan bocoran analisa intelijen berkat kecerdikannya.

Saya rasa cukup adil untuk mempercayai pengakuannya telah berhasil memperoleh sejumlah tulisan analisa intelijen dari kantor BIN. Mengapa saya percaya? tidak lain karena saya tahu persis kelemahan BIN yang bisa diibaratkan gudang analisa yang sangat rahasia namun dipelihara bagaikan tempat sampah. Dokumen berserakan tanpa ada prosedur penghancuran atau penyimpanan yang memadai, anggota-anggotanya yang oleh penulis (Abwehrmeister) disebut sebagai punggawa pejaten pada umumnya sudah melupakan prinsip internal security dan cenderung semborono. Kondisi inilah yang memudahkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kelemahan tersebut untuk tujuan yang macam-macam.

Saya jadi ingat perbincangan dengan mantan Kepala BAKIN (KABAKIN) almarhum Letjen (purn) Z.A. Maulani ketika beliau masih bertugas di kantor Sekretariat Wakil Presiden. Menurut beliau laporan BAKIN seperti garbage in garbage out. Menyedihkan sekali bukan?
Isi sebuah laporan intelijen barangkali biasa saja dan bersifat rutin, tetapi karena ia dibuat oleh lembaga intelijen maka tidak selayaknya diperlakukan seperti kertas bungkus pisang gorang.

Tentu perspektif di atas tidak bersifat general, karena masih ada junior-junior saya yang sekarang naik dalam level eselon 1 dan 2 yang benar-benar menjaga prinsip internal security dan berhasil menjalankan tugas dengan begitu baiknya. Untuk figur-figur yang tegas dan punya komitmen tinggi dalam tugas maka tidak ada celah bagi kesembronoan. Dari sisi unsur militer juga demikian ada yang sangat profesional dan ada yang sembrono. Mudah membedakannya unsur militer yang masuk BIN hanya ada dua macam, pertama adalah mereka yang sangat dibutuhkan karena kemampuannya dan kedua adalah mereka yang mengemis segala cara kepada Kepala BIN agar diberikan jabatan karena di militer karirnya tamat.

Kebobrokan organisasi BIN maupun BAIS inilah yang melahirkan seorang Senopati Wirang yang harus menanggung MALU menuliskan BLOG I-I berdasarkan pada pengalaman pahit bertahun-tahun. Pernah saya menulis surat kaleng kepada Presiden Suharto...hasilnya malah pembersihan organisasi dan ancaman-ancaman. Memang saya bukan Ksatria yang terang-terangan menantang sistem, tetapi apalah artinya perjuangan satu suara yang lemah ini. Saya sudah menyaksikan banyak korban berjatuhan bahkan seorang sahabat ada yang sampai di Penjara dan seorang Jenderal Yoga Soegama hanya sempat minta maaf di depan mayatnya setelah sahabat saya sakit sekian lama. Setidaknya sejak saya bergabung dengan Intelijen Tempur, Intelijen Strategis dan Intelijen Sipil dan sampai masa akhir hidup saya ini belum ada yang menyadari siapa saya.

Ah pengantarnya jadi terlalu banyak, habis saya kesal dengan sistem pengamanan yang amat sangat buruk di institusi intelijen Indonesia.


Silahkan disimak artikel dari seseorang yang sangat memimpikan dirinya menjadi seorang agen intelijen.
------------------------------------------------------------------------------------------------


GRAND DESIGN AMERIKA SERIKAT TERHADAP PAPUA
oleh: ABWEHRMEISTER
Menarik kita amati perkembangan kasus Papua, yang diawali dari kasus Abepura (yang menuntut ditinjau ulangnya kontrak karya antara PT.Freeport Indonesia dan pemerintah RI) dan kasus pemberian visa tinggal sementara oleh Australia bagi puluhan orang aktivis Papua Merdeka yang menyatakan adanya genocide di Papua. Mari kita coba mengamati secara lebih seksama kedua kasus tersebut.

1. Tuntutan peninjauan ulang kontrak karya antara pemerintah RI dan PT.Freeport Indonesia.
Hal ini mulai mendapat perhatian publik setelah terjadi demo besar-besaran oleh sebagian besar unsur masyarakat Papua (baik di Papua maupun di Jakarta) yang menelan korban dari aparat dan dari masyarakat. Mereka menuntut di tinjau ulangnya kontrak karya pengolahan Sumber Daya Alam yang dilakukan PT.Freeport Indonesia, sebuah perusahaan Amerika Serikat. Tuntutan ini dikarenakan selama ini PT.Freeport Indonesia dinilai lalai dalam menangani masalah lingkungan hidup dan PT.Freeport Indonesia dirasa tidak memberi dampak positif secara signifikan kepada masyarakat asli Papua. Hal ini diperkuat oleh adanya laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang menyatakan bahwa (pada intinya) telah terjadi degradasi/penurunan kualitas lingkungan hidup di Papua, yang apabila dibiarkan terus menerus akan sangat merugikan Indonesia. Beberapa tokoh politisi dan parlemen Indonesia belakangan angkat bicara dan mengakomodir keinginan masyarakat Papua melalui parlemen. DPR mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kontrak karyanya dengan PT.Freeport Indonesia. Hanya sayang sikap DPR ini hanya melalui pernyataan-pernyataan tokohnya secara parsial, bukan sikap resmi DPR secara institusional sebagai lembaga parlemen Indonesia. Tanpa perlu menjadi seorang expert, kita bisa melihat adanya gangguan terhadap kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa besar kerugian yang dialami PT.Freeport Indonesia (baca: Amerika Serikat) apabila peninjauan ulang kontrak karya tersebut benar-benar terjadi. Sebenarnya peninjauan ulang kontrak kerja sama merupakan HAK Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas Papua. Ditinjau dari segi hukum (tentunya hukum Indonesia), pembaruan suatu perjanjian dimungkinkan untuk dilakukan sebelum habis masa berlaku perjanjian tersebut apabila ada hal-hal yang secara prinsipil melanggar UU. Ketentuan ini bisa kita lihat dari pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW) yang menyatakan sebagai berikut :”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.”
Dari uraian pasal tersebut diatas nampak jelas bahwa suatu perikatan hukum (baca: perjanjian) dapat ditarik kembali (atau diperbarui) apabila mendapat kesepakatan dari kedua belah pihak dan atau pelanggaran terhadap UU yang berlaku. Dalam hal ini UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Posisi pemerintah dalam hal ini sebenarnya sangat kuat baik secara de facto maupun secara de jure. Pemerintah tidak perlu takut terhadap pencitraan buruk Indonesia di luar negeri. Saya yakin banyak putera-puteri Indonesia yang ahli dalam bidang komunikasi dan pencitraan diri. Masih banyak investor asing lain yang mau menanamkan modalnya di Papua. Dalam kasus ini PT.Freeport Indonesia (baca:Amerika Serikat) jelas-jelas merasa terancam dan merasa terusik posisinya di Indonesia. Logikanya, pasti mereka akan memberikan reaksi yang kita tidak tahu entah apa. Melihat arah kebijakan luar negeri AS yang kental nuansa kapitalisme (baca: kolonialisme) yang dilatar belakangi sumber daya alam (Irak, Blok Cepu, Amerika Latin),bisa dipastikan mereka akan mempertahankan kepentingannya dengan segala cara. Pengalaman kita pada masa pemerintahan Soekarno, dimana AS berencana untuk menduduki Indonesia melalui skenarionya membumi hanguskan CALTEX di Riau untuk kemudian mendarat dan menguasai Indonesia. Kejadian itu pada masa pemberontakan PRRI-PERMESTA pada zaman pemerintahan Soekarno. Saya merasa bersyukur skenario tersebut gagal total dan akhirnya mencoreng muka AS. Bukan tidak mungkin AS akan mempertahankan kepentingannya dengan cara-cara yang sama atau sama sekali baru yang tidak kita duga sebelumnya. Kita harus dapat mengantisipasi potensi-potensi ancaman dimasa datang. Untuk tujuan itulah tulisan ini saya buat.


2. Kasus pemberian visa tinggal sementara oleh Australia terhadap aktivis separatisme Papua.
Kasus ini membuat hubungan bilateral Indonesia – Australia kembali memanas. Indonesia menarik kembali dubesnya, sementara dubes Australia dipanggil Menlu RI untuk menjelaskan sikap pemerintahan Australia. Untuk yang kesekian kalinya hubungan Indonesia – Australia menegang. Masih segar dalam benak rakyat Indonesia bagaimana peran aktif Australia dalam kasus lepasnya Timor-Timur dari pangkuan ibu pertiwi. Belakangan diketahui bahwa motif utama Australia dalam mensponsori kemerdekaan Timor-timur adalah celah timor yang ditengarai kaya akan minyak. Sobat kental AS ini nampaknya telah belajar banyak dari sohibnya itu. Pemberian suaka dan visa tinggal tersebut jelas-jelas tidak mencerminkan sikap dukungan Australia terhadap kedaulatan wilayah NKRI, seperti yang selama ini berulang kali mereka utarakan kepada berbagai media dunia. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memberi dukungan kepada elemen-elemen separatisme di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari adanya dukungan berupa moril dan materiil dari berbagai parpol Australia terhadap pihak separatis Papua (sebagaimana tercantum dalam temuan data dan fakta yang dibawa oleh tim parlemen Indonesia yang akan sowan ke Australia). Terlebih lagi kita memiliki pengalaman pahit pada masa lalu dalam kasus lepas nya Timor-Timur dari NKRI. Apakah kita akan jatuh dalam lubang yang sama untuk yang kedua kalinya? Saya yakin bahwa ini adalah suatu skenario yang disusun bersama antara Australia dan AS dengan tujuan untuk mengambil alih sumber daya alam yang terdapat di Papua. Indikasinya adalah Australia begitu mengekspos penindasan yang dialami oleh para aktivis separatisme Papua (versi mereka tentunya). Bahkan mereka menuduh telah terjadi genocide di bumi Papua. Ini adalah suatu tuduhan serius yang tidak berdasar. Serius karena istilah genocide merupakan salah satu pelanggaran HAM berat, setara dengan yang dilakukan oleh NAZI Jerman. Tidak berdasar karena tuduhan tersebut tanpa disertai data, fakta dan bukti yang kuat dan meyakinkan. Ini adalah bagian dari skenario panjang AS dan Australia untuk merebut sumber daya alam Indonesia. Selama ini Amerika dikenal sebagai agresor yang mengabaikan norma-norma apapun dalam menjaga kepentingannya diberbagai penjuru dunia. Tidak perlu legitimasi, tidak perlu ada bukti yang kuat, dan sering kali mengabaikan PBB.

3. Alternatif penyelesaian masalah.
Berkali-kali Australia menginjak-injak harga diri dan martabat bangsa Indonesia. Penangkapan nelayan Indonesia, pelanggaran kedaulatan Indonesia di udara oleh AU Australia (boleh tanyakan pada saudara-saudara kita di AURI), lepasnya Tim-tim dari NKRI, pemasangan instalasi rudal yang dapat menjangkau wilayah NKRI, dan sekarang dukungan secara terang-terangan terhadap elemen separatisme Papua (pihak parlemen Indonesia dan kalangan intelijen pasti tahu lebih banyak). Kita semua pasti mahfum bahwa kita tidak bisa berharap banyak dari PBB. Sudah banyak kejadian yang menunjukkan bahwa PBB tidak memihak kepada rasa keadilan masyarakat internasional dan didalam tubuh PBB sendiri ada perbedaan perlakuan terhadap negara-negara anggotanya. Masih adanya hak veto bagi beberapa negara menunjukkan hal ini. Padahal hak veto tersebut sangat tidak relevan dan sangat mencederai asas persamaan kedudukan negara-negara yang berdaulat di dunia. Tidak akan pernah tercapai susunan dunia yang adil, merata dan sejahtera bila PBB (sebagai organisasi internasional yang utama) masih tidak berubah. Sikap Indonesia yang menarik kembali duta besarnya di Australia mencerminkan adanya perhatian yang serius dari pemerintah RI. Kita harus menata ulang kembali hubungan bilateral kita dengan Australia. Saya menyarankan beberapa alternatif penyelesaian disini, yaitu :
§ Secara eksternal
- Melakukan komunikasi bilateral dengan Australia melalui saluran diplomatik secara lebih intensif dan komprehensif dalam konteks Papua
- Mencari dukungan dalam berbagai forum internasional terhadap keutuhan kedaulatan wilayah NKRI (negara-negara Asia-Afrika, ASEAN, PBB,dll)
- Memberikan penjelasan kepada masyarakat internasional bahwa apa yang terjadi di Papua adalah murni masalah intern dalam negeri Indonesia, bahwa tidak ada peristiwa pelanggaran HAM berat (genocide) yang terjadi di bumi Papua seperti yang dituduhkan para aktivis separatisme Papua, bahwa apa yang dilakukan Australia adalah bentuk sikap bermusuhan dan melegalisasi tuduhan pelanggaran HAM berat di Indonesia, bahwa sikap Australia tersebut merupakan suatu bentuk ancaman terhadap kedaulatan sah suatu negara yang dapat menimpa negara mana saja di dunia dan merupakan preseden buruk dimasa datang.
§ Secara internal
- Melakukan pengusutan tuntas terhadap kasus kerusuhan Abepura, Papua.
- Merangkul semua elemen masyarakat Papua untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik bagi bangsa dan negara RI (hal ini lebih sulit dalam hal implementasi di lapangan).
- Mencari bukti keterlibatan asing dalam kasus Papua.
- Para pemimpin bangsa ini agar tidak serta merta mengeluarkan pernyataan yang bersifat tuduhan yang menyudutkan saudara sebangsa sendiri (politisasi). Akan lebih baik jika kita memfokuskan perhatian dan stamina kita untuk mengantisipasi ancaman dari luar. Kasus ini adalah murni masalah harga diri dan martabat Indonesia, tidak perlu kita larut dalam kepentingan politik sesaat.
- Melakukan pemberdayaan intelijen nasional baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini sangat penting artinya untuk menangkal ancaman-ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Sebagai contoh, pembentukan aturan hukum yang jelas bagi kalangan intelijen nasional lebih urgent ketimbang RUU APP misalnya.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat, paling tidak, menimbulkan kesadaran berbangsa dan semoga dalam tataran lebih luas dapat memberikan alternatif wawasan dalam menanggapi sikap Australia. Semoga Tuhan YME melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Amin !!

ABWEHRMEISTER

Read more!
# posted by senopati wirang : 7:22 AM 10 comments links to this post
Friday, April 07, 2006
Tambahan tentang Papua
Sebuah tulisan yang cerdas dari seseorang yang mungkin lebih pantas menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan Indonesia daripada Menteri yang sekarang.

Ma'af...awal tulisan diatas tidak bermaksud subyektif, hanya sebuah kalimat apresiatif atas artikel dari salah seorang tokoh kalangan LSM yang sering kurang didengarkan oleh pemerintah RI.

Mengapa saya masukkan dalam Blog I-I, bila memang banyak analis intelijen yang membaca Blog I-I ini, maka hanya akan dua reaksi:

1. Sepenuhnya setuju dengan artikel saudara RN
2. Menolak hanya karena ketidaksepahaman dengan mainstream perjuangan saudara RN

Saya yakin mayoritas analis intelijen yang belum terkontaminasi oleh kepentingan politik akan memilih reaksi pertama.

Dimana pentingnya pendapat subyektif saya ini....tidak lain bahwa pemikiran intelijen khususnya kalangan analis sesungguhnya sangat dekat dengan pemikiran kalangan LSM dan Akademis dibanding dengan pemikiran untuk politik kekuasaan.

Beberapa bulan sebelum hubungan RI-Australia menghangat, saya sudah menulis warning tentang masalah Papua, sungguh sangat diharapkan pemerintah RI segera melakukan evaluasi menyeluruh yang mungkin memerlukan pemahaman yang lebih cerdas dan lebih dekat pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal.


Silahkan menyimak artikel saudara RN berikut ini.

sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/06/opini/2562135.htm

Kamis, 06 April 2006
Mencari Suaka Itu Konstitusional
Rachland Nashidik

Kegusaran Indonesia pada Australia harus diletakkan ke dalam cara berekspresi yang cerdas dan benar. Jika tidak, kita akan dikenang sebagai bangsa yang senang mempermalukan diri sendiri.

Hak mencari suaka politik adalah hak individual. Sepenuhnya terserah kepada si individu untuk memutuskan kapan dan mengapa hak itu digunakan. Pikiran dan tubuh manusia bukanlah yurisdiksi negara. Pemerintah tidak boleh merasa memiliki pikiran dan tubuh warganya meski atas nama kedaulatan negara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah orang pertama yang tidak boleh lupa: hak suaka politik ini dilindungi amandemen kedua UUD 1945, persisnya oleh Pasal 28 G Ayat 2. Bunyinya, "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".

Bagian hukum nasional
Perlindungan terhadap hak ini, termasuk kewajiban menghormati prinsip non-refoulement・prinsip berstatus jus cogens yang isinya melarang pengembalian pencari suaka politik ke negara asal juga telah jadi bagian hukum nasional. Pertama oleh ratifikasi Republik Indonesia terhadap International Covenant on Civil and Political Rights (2006); dan sebelumnya terhadap Convention Against Torture (1998) di mana non-refoulement adalah prinsip fondasionalnya.

Jauh sebelumnya, preseden perlindungan yang sama dapat ditemukan dalam Surat Edaran Perdana Menteri Nomor 11/RI/ 1956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik.

Surat Edaran yang ditandatangani Mr Ali Sostroamidjojo itu menyatakan, "Indonesia melindungi pelarian politik yang masuk dan yang sudah berada di wilayah Indonesia, berdasarkan hak dan kebebasan asasi manusia, serta sesuai dengan hukum kebiasaan internasional."

Indonesia tidak bisa mengakui dan menjamin hak itu sambil pada saat bersamaan kelihatan memusuhinya.

Visa proteksi sementara
Departemen Luar Negeri Indonesia seharusnya bisa menjelaskan kepada Presiden, pemberian visa proteksi sementara (temporary protection visa) bukan akhir yang bahagia bagi para pencari suaka politik ke Australia.

Visa ini berlaku sementara dan akan dievaluasi setelah tiga tahun. Selama itu setiap pencari suaka yang telah diakui statusnya di bawah hukum internasional sebagai refugee tidak bisa melakukan perjalanan ke luar Australia, meski sekadar untuk menemui keluarga yang tercerai. Jika memaksa, mereka akan kehilangan status humanitariannya dan bakal ditolak masuk kembali ke Australia.

Bagi mereka juga tak ada fasilitas negara untuk kesejahteraan, bantuan pekerjaan, atau sekadar biaya untuk belajar bahasa Inggris. Pihak yang tersisa untuk membantu mereka adalah lembaga-lembaga masyarakat yang, dalam urusan refugee ini, dibatasi aksesnya terhadap dana masyarakat yang tersedia.

Kepahitan dari kenyataan itulah yang akan segera dialami para pencari suaka asal Papua. Segera setelah tiga tahun yang sulit, mereka pun harus membuktikan ulang keabsahannya sebagai refugee. Akankah pada tahap itu mereka kembali lolos?

Saya tidak punya angka untuk menebak. Namun, sejumlah penelitian menyebutkan, Australia hanya menerima satu refugee untuk setiap 1.583 warga Australia. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding Inggris (1:530) atau Tanzania (1:76).

Apa yang bisa dilakukan?
Apa yang bisa kita lakukan? Indonesia, tentu saja, berhak membela diri dari berbagai sangkaan terhadap dirinya. Namun, pemerintah harus melakukannya dalam penghormatan yang konsisten terhadap hak dan kebebasan asasi manusia.

Indonesia bisa membuktikan kepada Australia kerapuhan validitas dari klaim yang diajukan pencari suaka. Namun, hak mereka untuk meninggalkan Indonesia harus dihormati. Adalah cerdas dan terhormat bila Jakarta dapat menjadikan proses pembuktian itu sebagai tulang punggung diplomasi untuk meyakinkan Canberra agar menyediakan bagi mereka mekanisme naturalisasi, bukan status refugee.

Oleh karena itu, merayakan imparsialitas hukum adalah langkah yang sebaiknya ditempuh.

Sebenarnya hukum internasional menyediakan fasilitas untuk menangani dispute antarnegara dalam masalah refugee melalui International Court of Justice. Masalahnya, sampai hari ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Geneva tahun 1951. Akibatnya, Indonesia tidak bisa memanfaatkannya untuk menantang keputusan Australia.

Namun, kita sama sekali belum terlambat. Departemen Luar Negeri harus ditugasi untuk mempercepat ratifikasi terhadap Geneva Convention Relating to the Status of Refugees dan protokolnya, dari tahun 2009 menjadi tahun depan. Prinsip non-retroactivity tidak perlu berlaku bagi kasus suaka ini karena sifatnya yang bisa diargumentasikan sebagai continuing case.

Dan inilah yang paling penting, Indonesia harus bergegas untuk sungguh-sungguh memperbaiki sikap dan kebijakannya di bumi Papua, lagi-lagi dengan mengedepankan imparsialitas hukum yang teguh dan perlindungan penuh atas keseluruhan hak-hak asasi manusia. Jangan main-main dengan hal ini, karena impunity dan keadaan perlindungan hak asasi manusia yang buruk di Papua amat mungkin adalah informasi yang mengondisikan keputusan pejabat imigrasi di Australia, kini, dan di masa datang.

Jangan lupa, Potret Papua sebenarnya adalah made in Indonesia. Apa yang dilakukan Australia hanya memungut potret yang terbuang itu, memberi pigura, lalu memasangnya di dinding hall of shame yang entah untuk apa mereka buat.

Tiga tahun adalah masa yang singkat bagi mereka yang mendapat temporary protection visa dari Australia. Namun, itu adalah kesempatan yang cukup bagi Indonesia untuk membuktikan kepada dunia kesungguhan komitmennya kepada warga Papua.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera bersiap untuk kompetisi ini.
------------
Rachland Nashidik Direktur Eksekutif Imparsial, The Indonesian Human Rights Monitor

Tidak ada komentar: